SASAGUPAPUA.COM, Papua Selatan – Di bawah terik matahari Merauke, suara mesin alat berat merubuhkan pepohonan yang telah berdiri ratusan tahun. Namun, di hadapan moncong ekskavator itu, masyarakat Adat Malind Maklew berdiri kokoh.
Mereka tidak membawa senjata, melainkan Salib Merah yang ditancapkan dalam-dalam ke tanah ulayat mereka.
“Tuhan Melihat, Leluhur Menangis”
Senin, 15 Desember 2025, menjadi puncak kegundahan warga. Seorang tetua adat dari Marga Kahol, dengan mata berkaca-kaca menatap hutan yang kini rata dengan tanah, bersuara:
“Kami menanam Salib Merah ini bukan sekadar kayu. Ini adalah tanda bahwa Tuhan hadir di tanah kami. Pemerintah dan perusahaan harus tahu, setiap pohon yang mereka tumbangkan adalah tulang rusuk kami. Jika kalian melanggar salib ini, kalian bukan hanya melawan kami, tapi kalian sedang menantang Tuhan dan leluhur yang menjaga hutan ini,” tegasnya.
Di titik lain, seorang ibu dari Marga Moiwend yang sehari-hari mencari makan di hutan (dusun) yang kini telah digusur, menyampaikan kepedihan hatinya:
“Di mana lagi kami harus mencari sagu? Di mana lagi anak-anak kami akan belajar mengenal alam? Mereka datang membawa alat berat tanpa bicara dengan kami. Kami seperti orang asing di rumah sendiri. Hentikan semua ini, biarkan hutan kami kembali bernapas!”
Pelanggaran Prinsip FPIC dan Luka yang Mendalam
Proyek Strategis Nasional (PSN) yang diklaim untuk “Ketahanan Pangan” justru dirasakan sebagai “Ancaman Pangan” bagi warga lokal. Tanpa adanya Free, Prior and Informed Consent (FPIC), warga merasa dikhianati oleh negara.
Seorang pemuda dari Marga Gebze yang ikut dalam aksi pemalangan kolektif menyatakan ketegasannya:
“Pemerintah bicara tentang cetak sawah dan bandara di Jakarta, tapi mereka tidak pernah duduk di atas tikar bersama kami di sini. Kami sudah kirim surat ke Gubernur, bahkan sampai ke DPD RI di Jakarta, tapi mereka bisu. Maka hari ini, Salib Merah ini yang bicara. Jika alat berat itu bergerak satu senti saja melewati batas ini, itu artinya pemerintah sengaja memilih jalan perang dengan masyarakat adat,” ungkapnya.
Perspektif Hukum: Pelanggaran Berlapis
Teddy Wakum, Direktur LBH Papua Pos Merauke, menegaskan bahwa tindakan perusahaan dan pemerintah telah melampaui batas konstitusi.
“LBH Papua Merauke menilai bahwa apa yang terjadi kepada masyarakat Adat di Wanam diduga kuat melanggar pasal 385 ayat 1 KUHP tentang penyerobotan lahan. Kami tegaskan, keberadaan masyarakat adat Wanam, termasuk marga Moyuwend, Kahol, Basik-basik, Balagaize, dan Gebze, diakui secara sah dalam Konstitusi 1945 Pasal 18B ayat 2. Mengabaikan mereka adalah bentuk pelanggaran HAM yang nyata dan terstruktur,” tuturnya.
Teddy juga menambahkan desakan kerasnya:”Kami mendesak pemerintah untuk segera menarik semua alat berat. Wajib kosongkan wilayah adat Wanam! Jangan paksa masyarakat adat untuk terus terluka di atas tanah kedaulatannya sendiri. Pemulihan lingkungan harus segera dilakukan, bukan sekadar janji-janji pembangunan yang menghancurkan ruang hidup,” katanya.
Makna Spiritual Salib Merah
Bagi masyarakat Wanam, Salib Merah adalah benteng terakhir.
1. Sebagai Perlawanan Spiritual: “Kami berperang dengan iman. Salib ini adalah batas suci yang tidak boleh dilampaui oleh keserakahan,” ujar salah satu warga saat prosesi penancapan sasi.
2. Sebagai Peringatan Terakhir: Jika simbol ini diabaikan, masyarakat menganggap perusahaan secara sadar mengundang konflik fisik yang tidak diinginkan.
Tuntutan Penutup dari Jantung Wanam
Melalui LBH Papua Merauke dan Solidaritas Merauke, masyarakat adat menyampaikan poin-poin harga mati:
1. Pemerintah Indonesia dan PT. Jhonlin Group Wajib menghormati Aksi Salib Merah dan sasi Adat yang telah dilakukan oleh Masyarakat Adat Wanam
2. Pemerintah dan perusahaan segera menghentikan semua aktivitas pembukaan lahan untuk Jalan, Bandara dan dermaga atau diseluruh teritori Masyarakat Adat kampung Wanam di distrik Ilwayab
3. Tarik semua alat berat dari seluruh wilayah masyarakat Adat Wanam dan wajib kosongkan Wilayah Adat.
4. Pemerintah wajib memulihkan dan merehabilitasi semua kerusakan hutan, rawa, tanah dan dusun tempat masyarakat mencari makan yang telah dirusak dan dihancurkan menggunakan alat Berat PT. Jhonlin Group.
5. Pemerintah perlu melakukan pemetaan hak-hak ulayat, memberikan perlindungan bagi wilayah adat Masyarakat Adat.
6. Pemerintah Pusat dan Daerah serta Aparat Penegak Hukum (APH) wajib memberikan jaminan atas hak rasa aman bagi masyarakat adat yang terdampak PSN dan juga khususnya masyarakat kampung Wanam dan Wogikel
7. Semua pihak perlu menciptakan kondisi yang kondusif dan melakukan komunikasi yang efektif untuk mewujudkan perlindungan, penghormatan dan pemenuhan hak asasi manusia di Wanam dan Merauke









