Cerita · 10 Feb 2024 18:39 WIT

Perjuangan Raih Pendidikan Bawa Demi Magai Sukses Jadi Senior Vice President di Freeport 


Demi Magai, SVP Industrial Relation PT. Freeport Indonesia Perbesar

Demi Magai, SVP Industrial Relation PT. Freeport Indonesia

Setiap jam 3 subuh mama saya sudah bangun, siapkan bekal Ubi,”

Begitu ungkapan Demi Magai seorang Senior Vice President di PT.Freeport Indonesia ketika bercerita tentang kenangan masa kecilnya.

Demi Magai lahir di Ilaga tanggal 27 Juli yang kala itu, tahun 1970 masih tergabung dari Kabupaten Paniai, namun saat ini Ilaga merupakan ibu kota dari Kabupaten Puncak.

Demi lahir dari pasangan bapak Ngirekwe Magai dan Ibu Yuliana Magai.

 

Perjuangan meraih pendidikan

Tahun 1980-an, Demi berkisah saat itu di kampungnya hanya ada sekolah yayasan Kristen seperti YPPK dan YPPGI. “Jarak tempat tinggal saya ke sekolah itu butuh waktu 2 sampai 3 jam berjalan kaki, jadi saya biasa ke sekolah jam 5 pagi, sebelum jam 7 atau setengah 7 harus sudah sampai di sekolah,” ungkapnya.

Demi bersekolah di SD YPPGI Nggifrom, saat ini berada di Kecamatan Gome, Ilaga, kabupaten Puncak, Papua Tengah.

“Setiap jam 3 subuh mama saya sudah bangun, siapkan bekal Ubi,” ujarnya.

Usai menikmati masa SD pada tahun 1983, Demi melanjutkan sekolah ke jenjang SMP ia bersekolah di SMP Negeri 1 Kago, Ilaga.

“Itu jaraknya malah lebih jauh lagi dari waktu saya SD, itu 4 jam lebih berjalan kaki,” katanya.

Demi Magai bahkan sempat merasakan masa sekolah yang kental dengan budaya. Ia mengenakan koteka saat di sekolah hingga kelas 2 SMP.

“Jadi memang dulu itu kita biasa ke sekolah menyebrang sungai, kalau kali tidak banjir, kita potong jalan biar cepat lewat sungai. Tapi kalau banjir kita cari jembatan layang (jembatan gantung), tapi itu agak jauh jaraknya ke sekolah,” katanya.

Tahun 1985 Demi berhasil menyelesaikan tingkat SMP. Karena ingin mengejar mimpi lebih tinggi, Demi bahkan nekat berjalan kaki 6 hari 6 malam dari Ilaga ke Wamena.

Demi baru melanjutkan SMA saat tahun 1988 di SMA Negeri 1 Wamena. Perjuangan saat di Wamena menjadi tantangan awal ia jauh dari keluarga dan berjuang sendiri bahkan hanya makan sekali dalam sehari.

Demi Magai, Phoenix USA

 

“Di Wamena biaya hidup cukup mahal, sehingga saya biasa makan sehari sekali, minum air putih, sudah cukup untuk bertahan hidup selama sekolah, banyak juga teman-teman dari Ilaga yang sudah tidak tahan, pulang, ada juga pindah ke Nabire, karna biaya hidup di Wamena. Saat itu kami ada 26 orang yang bertahan di Wamena, termasuk saya,” ungkapnya.

Waktu SMA, Demi dan teman-teman sejawatnya membuat sebuah honai untuk tempat tinggal.”Kami tinggal di Sinakma, jadi Gereja Kemah Injil beli tanah disitu kami ada sekitar 13 orang bikin honai dan tinggal disitu,” cerita Demi Magai.

Karena jarak yang jauh, satu tahun duduk di SMA ia memilih tidak pulang ke kampung halamannya. Tahun 1990, Demi Magai lalu memilih pulang ke kampung halamannya ketika naik kelas 3 SMA.

Dari Ilaga saat itu untuk mempersiapkan pakaian sekolah dan atribut lainnya, ia berjalan kaki menuju ke Tembagapura selama 3 hari 3 malam sekaligus bertemu keluarganya yang merupakan karyawan Freeport. Setelah itu, ia kembali ke Ilaga dengan berjalan 3 hari 3 malam, dan melanjutkan perjalanan ke Wamena 6 hari 6 malam untuk kembali bersekolah.

Setelah SMA, Demi Magai memiliki cita-cita ingin melanjutkan sekolah ke Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) di Jayapura.

Tahun 1990, Demi menyelesaikan pendidikan tingkat SMA. Ia juga mendapatkan predikat salah satu siswa lulusan terbaik saat itu. Ia bersama 10 teman-temannya saat itu mendapatkan rekomendasi dari bupati yang menjabat saat itu untuk berangkat ke Manado untuk melanjutkan studi di APDN atau saat ini dikenal dengan IPDN.

“Saat itu biaya pertama ditanggung sendiri nanti sudah semester dua baru pemerintah mulai bantu, saya ikut tes dan lolos,” katanya.

Karena keterbatasan biaya, Demi lalu memilih pulang ke kampungnya (Ilaga) untuk mendapatkan dana agar bisa melanjutkan kuliah.

“Ke kampung itu mama jual babi, harga waktu itu Rp800 ribu sudah termasuk mahal di tahun-tahun itu karena masih pakai uang 100 rupiah,” kata Demi.

Namun, dana tersebut masih terbilang kurang. Karena sang ayah adalah pendeta dan ibu sebagai ibu rumah tangga sekaligus petani, tidak sanggup untuk memenuhi pembiayaan pertama untuk masuk ke APDN.

“Jadi orang tua bilang saya lanjut sekolah Teologia di Ujung Pandang, itupun dibiayai oleh misionaris, tapi saya tetap ingin kejar sekolah di APDN, akhirnya saya memilih ke Timika untuk cari uang,” jelasnya.

Demi mengaku tidak pernah memiliki keinginan masuk ke Freeport, sebab cita-citanya ingin sekolah APDN.

“Saya ingin jadi camat, karena dulu saya lihat camat itu langsung pegang uang, ada gaji,” terangnya.

Namun untuk mewujudkan mimpinya tersebut, Demi mencoba ikut tes masuk ke Freeport. Namun saat itu ia tidak lolos.

 

Awal Menjadi Karyawan Freeport

Demi melewati tahun 1990 di Timika namun belum membuahkan hasil. Mimpi menjadi APDN masih terus terbayang.

Waktu itu, kata Demi tahun 1991, ia mengalami sakit malaria berat lalu dilarikan ke rumah sakit.

“Dulu dari Freeport dua kali kunjungan dalam seminggu ke Kwamki Lama, dan disana ketika saya berobat, saya ketemu dokter namanya Martin Clarke. Dia perhatikan saya, dia tanya apakah saya sekolah ? Latar belakang saya seperti apa. Saya jelaskan, saya lulus SMA dan mau cari kerja,” ungkap Demi.

“Dia (Martin-red) bilang ke saya kalau kau sembuh, kau bantu dirumah sakit ini, akhirnya saya sembuh, dia panggil saya ikut setiap Freeport turun dalam seminggu dua kali, Jumat dan Selasa,” ujarnya.

Akhirnya, ia diterima membantu pekerjaan di divisi Malaria Control (Malcon) atau saat ini disebut dengan Public Health.

“Waktu itu saya masuk bulan Juni tahun 1991 dengan gaji Rp350 ribu perbulan, jadi itu  dibawah perusahaan Buma Kumawa. Terus setelah 6 bulan kemudian, bulan Januari, dokter Martin bilang saya, kamu bagus, kamu harus medical, akhirnya saya dibawah ke Tembagapura, saya medical disana,” ungkapnya.

Perjuangan untuk mendapatkan pekerjaan akhirnya semakin naik, ia menjadi Karyawan permanen di program Malaria Control dibawah Buma Kumawa.

Demi bekerja di Malcon hingga bulan Juni 1995 dan di transfer menjadi karyawan permanen Freeport.

“Setelah jadi karyawan Freeport, saya masih saja selalu berpikir tentang cita-cita saya untuk jadi seorang APDN, itu gimana saya supaya saya bisa mencapainya,” kata Demi.

Demi Magai, Grasberg, PT. Freeport Indonesia

 

Tahun 1997-1998 sempat terjadi gejolak di Freeport, dimana tahun 1998 YPMAK lalu membuka beasiswa 1 persen yang dialokasikan untuk 7 suku.

Dari program beasiswa 1 persen tersebut, Demi Magai mendapatkan kesempatan untuk mengikuti kuliah di STIE Kartanegara dengan sistem perkuliahan jarak jauh.

Mengejar mimpi membuat jadwal Demi Magai semakin padat. Pagi ia harus bekerja, malam ia harus menyelesaikan proses perkuliahan.

Sementara mengambil kuliah di STIE tersebut, ia juga mendapatkan kesempatan dari Malcon untuk mengambil pendidikan Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) bekerjasama dengan Daerah Biak.

“Jadi dua program pendidikan yang saya jalani bersamaan, yaitu kuliah di STIE dan sekolah Perawat,” ungkapnya.

Ia menyelesaikan SPK selama 3 tahun dan lulus pada tahun 1999, lalu tahun 2000 ia berhasil wisuda S1 di Kartanegara, Bekasi.

Demi Magai mendedikasikan dirinya bekerja di Malcon selama 15 tahun, ia juga berpengalaman bertugas di Apotek Klinik Malcon selama 5 tahun.

Demi juga memiliki pengalaman bekerja di rumah sakit khusus 7 suku yaitu Caritas. Saat itu ia menguasai 6 bahasa daerah sehingga ia dipercayakan bekerja di rumah sakit tersebut.

Usai menyelesaikan kuliah tahun 2000 ada memo Freeport yang dikeluarkan khusus bagi 7 suku yang sarjana bakal diterima menjadi karyawan. Dengan bekal ijazah sarjananya, Demi mencoba keberuntungan untuk melamar dan mencoba posisi baru di perusahaan tambang terbesar tersebut.

“Saya ikut melamar, dan saya lolos seleksi kami dari 29 orang, ada yang S1 dan S2, dan itu menjadi kali pertama saya ikut SHL (tes) dari Papua 7 suku. Jadi ada 6 orang anak Papua yang lolos dan salah satunya saya, dan di tahun 2001 bulan Juni, saya akhirnya resmi bergabung ke Divisi Industrial Relation Freeport,” katanya.

Saat itu ia diterima langsung menduduki posisi level 1 (Foreman). Ia lalu diberikan kepercayaan membawahi Crew dan memiliki pengalaman dua tahun berkantor di Kuala Kencana.

Saat itu Demi masih tinggal di Kwamki Lama, pergi bekerja menggunakan motor pribadi. Beruntung, tahun 2003 ia diberikan rumah di Timika Indah oleh Freeport. Tahun 2004, Demi masih dengan posisi level 1 dipindahkan ke wilayah Grasberg, Tembagapura.

Tahun 2007, Demi diberikan kepercayaan naik posisi menjadi level 2 (GenForeman). Tak berselang lama, tahun 2008, karirnya naik begitu cepat karena dedikasi dan kerja kerasnya. Demi Magai lalu dipercayakan lagi mendapatkan posisi level 3 (Superintendent).

“Tahun 2009 saya menjadi orang pertama level 3 yang ikut dalam perundingan PKB yang sebenarnya hanya level manager, Vice President keatas, tapi saya diberikan kepercayaan menjadi satu satunya level 3 yang ikut perundingan,” jelasnya.

Setelah beberapa tahun, tepatnya tahun 2017, ia dipromosikan ke level 4 (General Superintendent), setelah itu 9 bulan kemudian ia dipromosikan lagi menjadi manajer di tahun yang sama.

“Hanya setahun saya jadi manajer, pada tahun 2018 bulan Februari saya diangkat menjadi Vice President,” katanya.

Demi Magai saat bersama Richard C. Adkerson (CEO Freeport McMoran)

 

Demi menjelaskan saat itu ada dua Divisi yang dipimpin oleh Vice President (VP). Dimana VP Industrial Relation dipimpin oleh John Rumainum, kemudian Divisi Perencanaan Kerja dan Kontrol (WPC) dipimpin oleh Benny Johanes lalu mereka pensiun.

Akhirnya dua divisi tersebut dijadikan menjadi satu divisi besar yakni Industrial Relation dan dipimpin oleh Demi Magai selaku Vice President.

Demi Magai juga memiliki pengalaman, pada Bulan Juni, Tahun 2018 ia dikirim oleh Freeport ke Phoenix Amerika Serikat. Disana ia mengikuti forum IR yang terdiri dari 12 negara.

Banyak pengalaman untuk meraih pendidikan hingga ia kini dipercayakan menjadi Senior Vice President, ia membawahi tiga divisi besar yang ada di PT. Freeport Indonesia yakni WBC, IR dan PAD.

Suami dari Yerina Tsenawatme ini, menjadi salah satu anak Papua 7 suku yang memiliki jabatan tinggi di Freeport. Demi Magai memiliki tiga orang anak yakni Natalina Magai, Yerlince Magai dan Ferdy Fernando Imingkawak. 

Demi Magai bersama Istri dan anak-anaknya

 

Ia mengungkapkan, salah satu hal yang selalu membuat ia ingin maju adalah perjuangannya meraih pendidikan.

“Yang saya maju dan berkembang pesat itu adalah’ pendidikan’. Pendidikan itu sangat penting skali bagi siapapun. Banyak orang pintar, tapi satu hal adalah, keinginan dan kemauan harus benar-benar berasal dari diri sendiri, dan harus diperjuangkan,” pungkasnya.

 

Penulis: Kristin Rejang

Berikan Komentar
Artikel ini telah dibaca 472 kali

badge-check

Reporter

Baca Lainnya

Cerita dari Tenda Para Korban Kebakaran di Timika

12 Juni 2024 - 18:20 WIT

Mengenal Elinus Mom, Sosok Pengusaha Muda Amungme Jadi Anggota DPRD Mimika

3 Juni 2024 - 09:57 WIT

Cerita Perjuangan ‘Pijar’ Mengajar Anak-anak di Pesisir Mimika 

27 Mei 2024 - 10:39 WIT

Mariana Edoway, Perempuan Paniai Penakluk Dump Truck di Area Tambang Freeport 

23 Mei 2024 - 21:00 WIT

Anak Sekolah di Timika, Merawat Budaya, Melawan Zaman

31 Maret 2024 - 17:03 WIT

Deretan Anak Muda Asli Papua Tahun 2023 yang Patut Jadi Inspirasi

31 Desember 2023 - 21:34 WIT

Trending di Cerita